“Tapi, Mak. Cita-cita saya kan
waktu kecil kepingin jadi polisi. Setiap hari saya latihan. Mulai SMP sampai
sekarang. Enam tahun saya belajar ini dan itu, belajar A-Z tentang kepolisian.
Fisik dan ilmu sudah lumayan bagus.”
“Sudah, nggak usah disesali, Nak.
Pasrahkan saja sama yang di atas. Mungkin rezeki kamu di tahun depan.”
“Emak, nggak tahu sih. Padahal
kalau dilihat-lihat, saya bisa lolos di tes terakhir kemarin. Cuma ya gitu deh,
banyak yang main belakang pakai uang.”
“Iya, tapi kamu jangan su’udzon
gitu lho. Allah kan yang lebih Maha Tahu. Sudah lah. Tahun depan kan masih ada
seleksinya.”
Begitulah si Doni. Siswa lulusan
SMA Cuka Cama Cuka yang sekarang galau lantaran kegagalannya dalam tes masuk
kepolisian, rupanya tidak menerima keputusan dari tim juri seleksi kepolisian.
Padahal ia sudah bersungguh-sungguh untuk mengikuti tes masuk tersebut. Dan,
itu pun adalah cita-citanya semasa SD. Bahkan dari SMP sudah ia persiapkan
semuanya, mulai dari mengatur makanan, pola hidup sehat, olahraga, ilmu pengetahuan
tentang kepolisian, dan lain-lain.
Akhirnya, pada suatu hari dengan
tekad yang kuat. Iya minta izin sama emaknya buat membeli pakaian dan topi yang
berbau polisi. Sampai pistol mainan
“Nak, buat apa ini semua?”
“Ini impian, Mak. Nah, siapa tahu
tahun depan terwujud.”
“Tapi tak usah boros begitu. Sampai
beli pistol mainan lagi.”
“Mak, Doni pernah dengar kata pak motivator.
Kalau ingin mimpi kita tercapai. Ya harus dilakukan. Nah, ini sebagai gambaran
saja. Walau pistolnya cuman mainan. Insya Allah, kalau dalam otak kita ingin
jadi polisi, pasti ke depannya ada jalan. Allah kan sesuai dengan prasangka
hamba-Nya. Betul nggak, Mak?”
“Ya, sudah. Maafkan Emak ya kalau
bisa bantu kamu dengan doa saja.”
Satu bulan berlalu…
Doni akhirnya menjadi polisi
gadungan. Ia dengan senang hati memakai pakaian polisi dan topi yang mirip
dengan polisi. Persis, setiap orang yang melihat ia, bisa dipastikan langsung
percaya kalau Doni adalah seorang polisi. Tubuhnya pas. Pakaiannya sama. Ada
pistolnya juga. Sampai sepatunya hitam mengkilat.
Sudah siap semuanya, Doni pun
berkeliling komplek, bahkan sampai jalan-jalan ke luar jalan raya. Setiap ada
orang yang mojok di taman. Ia dekati. Ia nasihati. Mereka pun langsung ngacir
kagak ketolongan. Di sinilah enaknya jadi polisi. Karena memang niat Doni menjadi
polisi adalah memberantas ketidak-benaran dan kemaksiatan di muka bumi.
Orang yang mabuk-mabukan, ia
nasihati. Bahkan pernah sesekali ia keluarkan pistol mainannya kalau memang si
pemabuk tak mau menurut nasihatnya.
Ada yang lagi main judi, ia
berantas dengan perlahan.
Ada yang lagi sabung ayam, ia
hentikan dengan satu gertakan.
Ada yang balap-balapan, ia kejar
sampai keluar sarang rute balapan.
Kalau ada ketemu orang di jalan
tak pakai helm, ia stop. Sekadar diperingatkan (tanpa mengambil uang layaknya
tilang polisi beneran). Dimana ada ketidak-benaran, maka di sanalah Doni selalu
ada. Mirip kayak film super hero di tivi-tivi.
“Nak, bagaimana kalau kamu
ketahuan jadi polisi gadungan. Dan kamu ditangkap?” tanya Emak Doni waktu itu.
“Tenang, Mak. Kebenaran akan
selalu menang. Buat apa jadi polisi, kalau duduk-dudukan saja. Mengurus A,
mengurus B, mengurus C malas. Malah Doni nggak mau dikasih apapun kalau habis
bantu orang, Mak. Insya Allah, itu adalah komitmen Doni sejak dulu setelah membaca
peraturan menjadi polisi Negara yang baik dan benar. No SUAP. NO NARKOBA, Mak,
hehe…”
“Mak, senang dengan sifat kamu,
Nak. Semoga tahun depan kamu lulus jadi polisi beneran.”
“Aamiin…”
0 komentar:
Posting Komentar